Masakan Jepang
Masakan Jepang (日本料理, nihon ryōri, nippon ryōri) adalah
makanan yang dimasak dengan cara memasak yang berkembang secara unik di
Jepang dan menggunakan bahan makanan yang diambil dari wilayah Jepang dan sekitarnya. Dalam
bahasa Jepang, makanan Jepang disebut
nihonshoku atau
washoku.
Sushi,
tempura,
shabu-shabu, dan
sukiyaki adalah makanan Jepang yang populer di luar Jepang, termasuk di Indonesia.
Definisi
Masakan dan makanan Jepang tidak selalu harus berupa "makanan yang sudah dimakan orang Jepang secara turun temurun." Makanan orang Jepang berbeda-beda menurut zaman, tingkat sosial, dan daerah tempat tinggal. Cara memasak masakan Jepang banyak meminjam cara memasak dari negara-negara
Asia Timur dan negara-negara Barat. Di zaman sekarang, definisi makanan Jepang adalah semua makanan yang dimakan orang Jepang dan makanan tersebut bukan merupakan masakan asal negara lain.
Dalam arti sempit, masakan Jepang mengacu pada berbagai berbagai jenis makanan yang khas Jepang. Makanan yang sudah sejak lama dan secara turun temurun dimakan orang Jepang, tapi tidak khas Jepang tidak bisa disebut makanan Jepang. Makanan seperti
gyudon atau
nikujaga merupakan contoh makanan Jepang karena menggunakan bumbu khas Jepang seperti
shōyu,
dashi dan
mirin. Makanan yang dijual rumah makan Jepang seperti penjual soba dan warung makan
kappō juga disebut makanan Jepang. Makanan yang mengandung daging
sapi sering dianggap bukan masakan Jepang karena kebiasaan makan daging baru dimulai sejak
Restorasi Meiji sekitar 130 tahun lalu. Menurut orang di luar Jepang, berbagai masakan dari daging sapi seperti
sukiyaki dan
gyudon juga termasuk makanan Jepang. Dalam arti luas, bila masakan yang dibuat dari bahan makanan yang baru dikenal orang Jepang ikut digolongkan sebagai makanan Jepang, maka definisi masakan Jepang adalah makanan yang dimasak dengan bumbu khas Jepang.
Masakan Jepang sering merupakan perpaduan dari berbagai bahan makanan dan masakan dari berbagai negara. Parutan
lobak yang dicampur saus sewaktu memakan
bistik atau
hamburg steak, dan
salad dengan dressing parutan
lobak merupakan contoh perpaduan makanan Barat dengan penyedap khas Jepang. Saus
spaghetti yang dicampur
mentaiko,
tarako,
natto, daun
shiso atau
umeboshi merupakan contoh makanan Barat yang dinikmati bersama bahan makanan yang memiliki rasa yang sudah akrab dengan lidah orang Jepang. Bistik dengan parutan
lobak sebenarnya tidak dapat disebut sebagai makanan Jepang melainkan bistik ala Jepang (
wafū steak). Berdasarkan aturan ini, istilah
wafū (和風, ala Jepang?) digunakan untuk menyebut makanan yang lazim ditemukan dan dimakan di Jepang, tapi dimasak dengan cara memasak dari luar Jepang.
Berdasarkan aturan
wafū, beberapa jenis makanan sulit digolongkan sebagai makanan Jepang karena merupakan campuran antara makanan Jepang dan makanan asing:
- Makanan Barat yang dicampur bahan makanan yang unik Jepang, seperti sarada udon (salad adalah makanan Barat tapi dicampur udon yang khas Jepang), kari, dan anpan (roti berasal dari Barat berisi ogura yang khas Jepang).
- Makanan khas Jepang yang berasal dari luar negeri tapi dibuat dengan resep yang sudah diubah sesuai selera lokal, seperti ramen dan gyōza.
- Makanan yang berdasarkan bahan dan cara memasak sulit diputuskan harus dimasukkan ke dalam kategori makanan Barat atau makanan Jepang, misalnya pork ginger dan butashōgayaki keduanya menunjuk pada makanan yang sama.
Sebagian besar ahli
kuliner berpendapat masakan Jepang mudah sekali dibedakan dari masakan negara tetangga seperti
masakan Korea dan
masakan Cina. Walaupun demikian, sejumlah makanan Korea juga mendapat pengaruh dari masakan Jepang. Di Korea juga dikenal
kimbab (
futomakizushi),
sup miso, dan
takuan (asinan lobak) yang merupakan makanan khas Jepang.
Ciri khas
Hidangan
kaiseki untuk sarapan pagi
Bahan makanan
Pada umumnya, bahan-bahan masakan Jepang berupa:
beras, hasil pertanian (
sayuran dan
kacang-kacangan), dan
makanan laut. Bumbu berupa
dashi yang dibuat dari
konbu,
ikan dan
shiitake, ditambah
miso dan
shōyu. Berbeda dengan masakan negara-negara lain, makanan Jepang sama sekali tidak menggunakan bumbu berupa rempah-rempah dari biji-bijian (
merica) atau penyedap yanng mengandung biji (seperti
cabai) yang harus ditumbuk atau dihaluskan. Masakan Jepang juga tidak menggunakan bumbu yang berbau tajam seperti
bawang putih. Kacang
kedelai merupakan bahan utama makanan olahan. Penyedap biasanya berupa sayur-sayuran beraroma harum yang dipotong-potong halus atau diparut. Masakan Jepang umumnya rendah lemak, tapi mengandung kadar garam yang tinggi.
Bumbu
Masakan Jepang mengenal 5 bumbu utama yang harus dimasukkan secara berturutan sesuai urutan
sa-shi-su-se-so yang merupakan singkatan dari:
Sesuai dengan peraturan
sa-shi-su-se-so, gula pasir adalah bumbu yang dimasukkan pertama kali, diikuti garam, cuka, kecap asin, dan miso.
Penyajian makanan
Makanan utama di Jepang terdiri dari
nasi (kadang-kadang dicampur
palawija),
sup dan
lauk. Lain halnya dari masakan Cina atau masakan Eropa, masakan Jepang tidak mengenal tahapan (
course) dalam penyajian. Dalam budaya makan Eropa atau Cina, makanan disajikan secara bertahap, mulai dari
hidangan pembuka,
sup,
hidangan utama, dan diakhiri dengan
hidangan penutup. Masakan Jepang dihidangkan semuanya secara sekaligus. Dalam hal penyajian hidangan, dalam masakan Jepang tidak dikenal perbedaan antara tata cara penyajian di rumah dengan tata cara penyajian di restoran. Jamuan makan dan kaiseki merupakan pengecualian karena makanan disajikan secara bertahap.
Dalam hal menikmati makanan, masakan Jepang bisa dengan mudah dibedakan dari masakan Eropa atau masakan Cina. Rasa dicampur sewaktu makanan Jepang berada di dalam mulut. Asinan sayur-sayuran mungkin terasa terlalu
asin kalau dimakan begitu saja, namun asinan terasa lebih enak ketika dimakan dengan nasi putih. Dalam masakan Jepang, bahan makanan tidak diolah secara berlebihan. Makanan harus mempunyai rasa asli bahan makanan tersebut. Cara memasak atau penyiapan makanan hanya bertujuan menampilkan rasa asli dari bahan makanan. Makanan juga sama sekali tidak dimasak dengan
bumbu yang berbau tajam. Masakan Jepang tidak mengenal teknik memasak yang bisa merusak penampilan bahan dan kesegaran bahan makanan.
Juru masak masakan Jepang dituntut serba bisa dalam berbagai bidang. Mereka dituntut memiliki keahlian dalam pengolahan bahan makanan, pengetahuan tentang alat-alat makan, serta pemilihan suasana yang tepat untuk menikmati makanan. Masakan Jepang sangat berbeda dari
masakan Perancis yang sangat maju dalam pembagian keahlian di dapur dan pelayanan terhadap tamu di ruang makan.
Peralatan makan untuk masakan Jepang umumnya dibuat dari
keramik,
porselen, atau kayu yang dipernis dengan
urushi. Di rumah keluarga Jepang, setiap anggota keluarga memiliki
mangkuk nasi dan
sumpit sendiri, dan tidak saling dipertukarkan dengan milik anggota keluarga yang lain. Sumpit yang dipakai bisa berupa sumpit kayu, sumpit bambu, atau sumpit sekali pakai. Sebelum teknik pembuatan keramik dikenal di Jepang, sebagian besar alat makan dibuat dari kayu yang dipernis. Alat makan dari porselen umumnya diberi hiasan gambar-gambar yang berfungsi sebagai penghias hidangan.
Masakan Jepang memiliki aturan yang sangat longgar menyangkut bentuk alat makan dari keramik. Piring bisa saja berwarna gelap atau berbentuk persegi empat, sehingga sangat mencolok dibandingkan piring makanan Eropa atau Amerika. Alat makan untuk makanan Jepang terlihat sangat berbeda dengan alat makan untuk masakan Cina atau Korea. Masakan Cina menggunakan piring bundar dari porselen dengan hiasan sederhana, sementara masakan Korea memakai porselen putih tanpa hiasan atau alat makan dari
logam.
Sejarah
Awal sejarah tertulis
Nihon Shoki adalah literatur klasik yang memuat sejarah tertua tentang masakan Jepang. Di dalamnya dikisahkan tentang nenek moyang klan Takahashi bernama Iwakamutsukari-no-mikoto. Makanan yang dihidangkannya berupa
namasu ikan
cakalang dan potongan kerang (
hamaguri) yang diacar dengan
cuka. Hidangan istimewa tersebut dibuatnya untuk
Kaisar Keiko yang sedang mengunjungi
Provinsi Awa ketika bersedih atas kematian
Yamato Takeru. Iwakamutsukari-no-mikoto bertugas sebagai juru masak istana dan kemudian dimuliakan sebagai dewa masakan.
Asal usul masakan
Orang Jepang mulai makan nasi sejak
zaman Jomon. Lauknya berupa bahan makanan yang direbus (
nimono), dipanggang, atau dikukus. Cara mengolah makanan dengan menggoreng mulai dikenal sejak
zaman Asuka, dan berasal dari
Semenanjung Korea dan
Cina. Teh dan masakan biksu diperkenalkan di Jepang bersamaan dengan masuknya agama
Buddha, namun hanya berkembang di kalangan kuil. Makanan biksu adalah
masakan vegetarian yang disebut
shōjin ryōri. Hewan peliharaan dan binatang buas seperti
monyet dilarang untuk dijadikan bahan makanan. Di dalam literatur klasik
Engishiki juga diceritakan tentang ikan hasil fermentasi yang disebut
narezushi yang dipakai sebagai persembahan di Jepang bagian barat.
Masakan zaman Nara
Pengaruh kuat kebudayaan Cina pada
zaman Nara ikut memengaruhi masakan Jepang pada zaman Nara. Makanan dimasak sebagai hidangan upacara dan ketika ada perayaan yang berkaitan dengan musim. Sepanjang tahunnya selalu ada perayaan dan pesta makan. Teknik memasak dari Cina mulai dipakai untuk mengolah bahan makanan lokal. Penyesuaian cara memasak dari Cina dengan keadaan alam di Jepang akhirnya melahirkan masakan yang khas Jepang.
Masakan zaman Heian
Pada
zaman Heian, masakan Jepang terus berkembang dengan pengaruh dari daratan Cina. Orang Jepang waktu itu mulai mengenal makanan seperti
karaage dan kue-kue asal Dinasti Tang (
tōgashi), dan
natto. Aliran memasak dan etiket makan berkembang di kalangan bangsawan. Atas perintah
kaisar Kōkō,
Fujiwara no Yamakage menyunting buku memasak aliran Shijō yang berjudul
Shijōryū Hōchōshiki. Sampai saat ini, rumah makan tradisional Jepang masih sering memiliki altar pemujaan untuk Fujiwara no Yamakage dan Iwakamutsukari-no-mikoto.
Masakan zaman Kamakura
Makanan olahan dari
tahu yang disebut
ganmodoki mulai dikenal bersamaan dengan makin populernya tradisi minum
teh dan ajaran
Zen. Pada zaman Kamakura, makanan dalam porsi kecil untuk
biksu yang menjalani latihan disebut
kaiseki. Pendeta Buddha bernama
Eisai memperkenalkan teh yang dibawanya dari Cina untuk dinikmati dengan hidangan kaiseki. Masakan ini nantinya berkembang menjadi makanan resepsi yang juga disebut
kaiseki, tapi ditulis dengan aksara
kanji yang berbeda.
Masakan zaman Muromachi
Memasuki
zaman Muromachi, kalangan
samurai ikut dalam urusan masak-memasak di istana kaisar. Tata krama sewaktu makan juga semakin berkembang. Aliran etiket Ogasawara yang masih dikenal sekarang bermula dari etiket kalangan samurai dan bangsawan zaman Muromachi.
Chūnagon bernama
Yamakage no Masatomo mendirikan aliran memasak Shijōryū. Aliran ini menerbitkan buku memasak berjudul
Shijōryū Hōchōsho (
Buku Memasak Aliran Shijō). Sementara itu,
klan Ashikaga mendirikan aliran memasak Ōkusaryū. Orang mulai menjadi cerewet soal cara memasak dan menghidangkan makanan. Makanan gaya
honzen (
honzen no seishiki) dan gaya kaiseki merupakan dua aliran utama masakan Jepang zaman Muromachi. Dalam gaya honzen, makanan dihidangkan secara individu di atas meja pendek yang disebut
ozen. Porsi yang dihidangkan cukup untuk dimakan satu orang. Dalam gaya
kaiseki, makanan dihidangkan dalam porsi kecil seperti makanan yang dihidangkan dalam
upacara minum teh.
Namban adalah istilah orang Jepang zaman dulu untuk "luar negeri", khususnya
Portugal dan
Asia Tenggara. Dari kata
namban dikenal istilah
nambansen (kapal dari luar negeri). Kedatangan kapal-kapal dari luar negeri dari
zaman Muromachi hingga
zaman Sengoku membawa serta berbagai jenis masakan yang disebut
namban ryōri (masakan luar negeri) dan
nambangashi (kue luar negeri). Kue
kastela yang menggunakan resep dari Portugal adalah salah satu contoh dari nambangashi.
Masakan zaman Edo
Kebudayaan orang kota berkembang pesat pada
zaman Edo. Makanan penduduk kota seperti
tempura dan teh gandum (
mugicha) banyak dijual di kios-kios
pasar kaget. Pada masa itu, di Edo mulai banyak dijumpai rumah makan khusus
soba dan
nigirizushi. Ōrusuichaya adalah sebutan untuk rumah makan tradisional (
ryōtei) yang digunakan samurai sewaktu menjamu tamu dengan pesta makan. Makanan dinikmati secara santai sambil meminum
sake, dan tidak mengikuti tata cara makan formal seperti masakan kaiseki atau masakan Honzen. Masakan Ōrusuichaya disebut masakan kaiseki
(会席料理, kaiseki ryōri, masakan jamuan makan), dan ditulis dengan aksara
kanji yang berbeda dari "kaiseki" untuk upacara minum teh.
Teknik pembuatan kue-kue tradisional Jepang (
wagashi) berkembang pesat berkat tersedianya
gula yang sudah menjadi barang yang lumrah. Alat makan dari
keramik dan
porselen mulai banyak digunakan dan diberi hiasan berupa gambar-gambar artistik yang dikerjakan secara serius. Daging ternak mulai dikonsumsi orang Jepang dan
daging sapi dimakan sebagai obat. Sejak pertengahan zaman Edo mulai dikenalnya teknik
seni ukir sayur, dan makanan mulai dihias dengan hiasan dari
lobak (
wachigai daikon). Pada waktu itu juga mulai dikenal telur rebus aneh dengan kuning telur berada di luar dan putih telur di dalam (
kimigaeshi tamago).
Masakan Kanto
Masakan Jepang zaman modern adalah hasil penyempurnaan masakan
zaman Edo.
Daimyo dari seluruh penjuru Jepang mengenal kewajiban
sankin kōtai. Mereka wajib datang ke Edo untuk menjalankan tugas pemerintahan bersama
shogun. Kedatangan daimyo dari seluruh pelosok negeri membawa serta cara memasak dan bahan makanan khas dari daerah masing-masing. Bahan makanan yang dibawa rombongan daimyo dari seluruh pelosok Jepang menambah keanekaragaman masakan Jepang di Edo. Semuanya ditambah dengan makanan laut segar dan enak dari
Teluk Edo yang disebut
Edomae. Hasil laut dari
Samudera Pasifik seperti
ikan tongkol sudah dijadikan menu tetap sewaktu membuat
sashimi.
Ikan dari familia
Sparidae yang dikenal di Jepang sebagai ikan tai merupakan lambang kemakmuran di Jepang. Ikan tai yang dipanggang utuh tanpa dipotong-potong merupakan hidangan istimewa pada kesempatan khusus. Makanan yang dihidangkan pada pesta makan terdiri dari dua jenis: makanan untuk dimakan di tempat pesta, dan makanan yang berfungsi sebagai hiasan. Panggang ikan tai termasuk dalam makanan hiasan yang boleh saja dimakan di tempat pesta. Namun, ikan panggang di pesta sebenarnya lebih merupakan hiasan karena dimaksudkan untuk dibawa pulang oleh para tamu sebagai oleh-oleh. Tradisi membawa pulang makanan pesta sebagai oleh-oleh untuk keluarga di rumah berasal dari zaman Edo dan terus berlanjut hingga sekarang. Selain ikan panggang, tamu biasanya dipersilakan membawa pulang
kinton (biji
berangan dan
ubi jalar yang dihaluskan) dan
kamaboko.
Masakan yang lahir dari berbagai keanekaragaman di daerah
Kanto disebut masakan Edo atau masakan Kanto. Sebutan masakan Kanto digunakan untuk membedakannya dari masakan Kansai yang sudah dikenal orang lebih dulu. Ciri khas masakan Kanto adalah penggunaan
kecap asin (
shōyu) sebagai penentu rasa, termasuk untuk makanan berkuah (
shirumono) dan
nimono. Tradisi membawa pulang makanan pesta merupakan alasan penggunaan kecap asin dalam jumlah banyak dalam masakan Kanto, maksudnya agar rasa tetap enak walaupun sudah dingin. Berbeda dengan masakan Kanto, masakan Kansai justru tidak terlalu asin walaupun mengandalkan
garam dapur sebagai penentu rasa.
Masakan Kansai
Masakan Kansai adalah sebutan untuk masakan
Osaka dan masakan
Kyoto. Berbeda dari budaya Edo yang gemerlap, masakan Kyoto mencerminkan budaya Kyoto yang elegan. Masakan Kyoto dipengaruhi masakan kuil Buddha. Ciri khasnya adalah penggunaan banyak sayur-sayuran,
tahu,
kembang tahu, namun sedikit
makanan laut karena letak geografis Kyoto yang jauh dari laut. Masakan Kyoto melahirkan cara memasak dengan bumbu seminimal mungkin agar rasa asli tahu atau kembang tahu (yang memang sudah "tipis") tidak hilang. Kepandaian mengolah ikan kering seperti
bodara (ikan
cod kering) dan
migakinishin (ikan
hering kering) menjadi hidangan yang enak merupakan keistimewaan masakan Kyoto.
Osaka adalah kota tepi laut dengan hasil laut yang melimpah. Oleh karena itu, masakan Osaka mengenal berbagai cara pengolahan hasil laut. Makanan laut diolah agar enak untuk langsung dimakan di tempat dan tidak untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Masakan Osaka tidak mementingkan rasa makanan kalau sudah dingin karena pada prinsipnya "makanan yang habis dimakan". Prinsip masakan Osaka bertolak belakang dengan prinsip masakan Kanto yang memikirkan rasa makanan kalau sudah dingin.
Pengaruh masakan Barat
Pada awal
zaman Meiji,
masakan Eropa mulai dikenal orang Jepang yang melakukan kontak sehari-hari dengan orang asing. Di kalangan rakyat tercipta makanan gaya Barat (
yōshoku) yang merupakan adaptasi masakan Eropa. Berbagai aliran memasak mengalami kemunduran, dan aliran Hōchōshiki merupakan satu-satunya aliran yang terus bertahan. Pelarangan makan daging dihapus sesuai kebijakan Pemerintah Meiji tentang
Haibutsu Kishaku dan
Shinbutsu Bunri sehingga tercipta
sukiyaki. Sementara itu,
honzen ryōri yang merupakan aliran utama masakan Jepang mulai ditinggalkan orang. Hidangan kaiseki telah menjadi makanan standar di rumah makan tradisional (
ryōtei) dan penginapan tradisional (
ryokan).
Masakan
vegetarian (
shōjinryōri) berlanjut sebagai tradisi kuil agama Buddha. Hidangan porsi kecil yang disebut
kaiseki ryōri (懐石料理?) bertahan hingga kini sebagai hidangan
upacara minum teh. Di bidang pertanian,
sawi dan
spinacia mulai ditanam secara besar-besaran. Di kota-kota mulai banyak dijumpai rumah yang memiliki meja pendek yang disebut
chabudai sebagai pengganti
nampan berkaki yang disebut
ozen. Keberadaan
chabudai yang bisa dipakai sebagai meja makan untuk empat orang mengubah acara makan yang dulunya dilakukan sendiri-sendiri dengan
ozen pribadi menjadi acara berkumpul keluarga.
Akibat
gempa bumi besar Kanto yang memakan korban jiwa besar-besaran, juru masak pewaris tradisi masakan Edo ikut menjadi berkurang, dan tradisi masakan
honzen mulai memudar. Etiket makan mulai longgar, dan orang Jepang semakin menyukai suasana santai sewaktu makan. Setelah
Perang Dunia II, kemudahan transportasi dan kemajuan bidang komunikasi menyebabkan tipisnya perbedaan antardaerah soal bahan makanan dan cara memasak untuk makanan yang sama. Walaupun demikian, perbedaan mendasar dalam soal bumbu dan selera masih tersisa.
Bahan dan bumbu
Bahan makanan sejak zaman kuno
Bumbu sejak zaman kuno
Bahan makanan sejak zaman Meiji
Bumbu dan rempah-rempah dari luar negeri Kategori
Masakan tradisional
- Masakan yang mulai dikenal pada zaman Edo, dan mendapat pengaruh dari masakan kalangan samurai tapi akhirnya menghilang pada zaman Meiji.
- Masakan tanpa daging di kuil agama Buddha.
- Kaisekiryōri (懐石料理, masakan Kaiseki)
- Masakan yang dihidangkan dalam tahap-tahap penyajian dalam porsi kecil.
- Kaisekiryōri (会席料理, masakan jamuan makan)
- Makanan jamuan pesta di rumah makan tradisional Jepang (ryōtei) yang dinikmati sambil minum sake. Penyajian dilakukan secara bertahap seperti masakan kaiseki.
Makanan sehari-hari
- Masakan nasi
- Nasi
- Nasi berbumbu cuka
- Bubur (okayu), bubur dari nasi (zōsui atau ojiya)
- Ochazuke
- Takikomigohan (nasi yang ditanak dengan sedikit lauk)
- Donburi
- Kakegohan (nasi yang dituangi sesuatu): mugitoro (gandum yang ditanak dan dituangi parutan umbi yamaimo atau nagaimo).
- Mochi dan dango
- Makanan berkuah (shirumono)
- Sashimi
- Tessa (sashimi ikan fugu)
- Tataki (potongan besar ikan yang digarang dengan api besar, matang di bagian luar, mentah di bagian dalam)
- Tsuke (sashimi yang direndam dengan kecap asin)
- Tsukemono (sayuran yang diasin): takuan, umeboshi, shibazuke, misozuke (fermentasi dengan miso), kasuzuke (fermentasi dengan ampas sake), nukazuke (fermentasi dengan kulit ari beras), wasabizuke (campuran sayuran dengan pasta wasabi)
- Mi: udon, soba, sōmen
- Nabe: oden, mizudaki, shabu-shabu, sukiyaki,
- Makanan goreng: tempura, satsuma-age, kakiage, karaage
- Makanan panggang: ikan panggang, teriyaki, yakitori, kabayaki
- Nimono: nikujaga, kinpira
- Nerimono: bentuk goreng-gorengan dari daging ikan yang dihaluskan dan ditambah tepung.
- Aemono: sayur yang direndam saus berbahan cuka atau miso.
- Ohitasi: sayur rebus yang dibumbui dashi.
Masakan asal luar Jepang