Kamis, 07 April 2011

desa shirakawa

Desa Shirakawa


Rumah tradisional Jepang di Desa Shirakawa
Shirakawa (白川村 Shirakawa-mura) adalah nama sebuah desa yang terletak di Prefektur Gifu, Jepang.
Desa ini paling terkenal dengan adanya sebuah bagian desa kecil yang menjadi tempat berdirinya rumah-rumah tradisional Jepang yaitu gasshō-zukuri.
Pada tanggal 1 April 2004, populasi desa ini diperkirakan mencapai 1.933 orang dengan kepadatan 5,4 orang per km². Luas totalnya adalah 356.55 km².
Desa ini terletak dekat dengan kota Takayama, juga di Gifu. Desa ini bersama dengan Gokayama di Nanto, Toyama, menjadi Situs Warisan Dunia UNESCO.

 Geografi

Shirakawa adalah salah satu tempat yang menerima paling banyak hujan salju di Jepang. Sebagian besar (95,7%) wilayahnya tertutup oleh hutan. Sebelah barat dibatasi oleh pegunungan Ryōhaku dan Prefektur Ishikawa serta dengan Prefektur Toyama di bagian utara dibatasi oleh gunung Ningyō. Desa Shirakawa terletak di lembah dimana mengalir sungai Shōkawa.

Wilayah tetangga

masakan jepang

Masakan Jepang


Masakan Jepang (日本料理 nihon ryōri, nippon ryōri) adalah makanan yang dimasak dengan cara memasak yang berkembang secara unik di Jepang dan menggunakan bahan makanan yang diambil dari wilayah Jepang dan sekitarnya. Dalam bahasa Jepang, makanan Jepang disebut nihonshoku atau washoku.
Sushi, tempura, shabu-shabu, dan sukiyaki adalah makanan Jepang yang populer di luar Jepang, termasuk di Indonesia.

Definisi

Masakan dan makanan Jepang tidak selalu harus berupa "makanan yang sudah dimakan orang Jepang secara turun temurun." Makanan orang Jepang berbeda-beda menurut zaman, tingkat sosial, dan daerah tempat tinggal. Cara memasak masakan Jepang banyak meminjam cara memasak dari negara-negara Asia Timur dan negara-negara Barat. Di zaman sekarang, definisi makanan Jepang adalah semua makanan yang dimakan orang Jepang dan makanan tersebut bukan merupakan masakan asal negara lain.
Dalam arti sempit, masakan Jepang mengacu pada berbagai berbagai jenis makanan yang khas Jepang. Makanan yang sudah sejak lama dan secara turun temurun dimakan orang Jepang, tapi tidak khas Jepang tidak bisa disebut makanan Jepang. Makanan seperti gyudon atau nikujaga merupakan contoh makanan Jepang karena menggunakan bumbu khas Jepang seperti shōyu, dashi dan mirin. Makanan yang dijual rumah makan Jepang seperti penjual soba dan warung makan kappō juga disebut makanan Jepang. Makanan yang mengandung daging sapi sering dianggap bukan masakan Jepang karena kebiasaan makan daging baru dimulai sejak Restorasi Meiji sekitar 130 tahun lalu. Menurut orang di luar Jepang, berbagai masakan dari daging sapi seperti sukiyaki dan gyudon juga termasuk makanan Jepang. Dalam arti luas, bila masakan yang dibuat dari bahan makanan yang baru dikenal orang Jepang ikut digolongkan sebagai makanan Jepang, maka definisi masakan Jepang adalah makanan yang dimasak dengan bumbu khas Jepang.
Masakan Jepang sering merupakan perpaduan dari berbagai bahan makanan dan masakan dari berbagai negara. Parutan lobak yang dicampur saus sewaktu memakan bistik atau hamburg steak, dan salad dengan dressing parutan lobak merupakan contoh perpaduan makanan Barat dengan penyedap khas Jepang. Saus spaghetti yang dicampur mentaiko, tarako, natto, daun shiso atau umeboshi merupakan contoh makanan Barat yang dinikmati bersama bahan makanan yang memiliki rasa yang sudah akrab dengan lidah orang Jepang. Bistik dengan parutan lobak sebenarnya tidak dapat disebut sebagai makanan Jepang melainkan bistik ala Jepang (wafū steak). Berdasarkan aturan ini, istilah wafū (和風 ala Jepang?) digunakan untuk menyebut makanan yang lazim ditemukan dan dimakan di Jepang, tapi dimasak dengan cara memasak dari luar Jepang.
Berdasarkan aturan wafū, beberapa jenis makanan sulit digolongkan sebagai makanan Jepang karena merupakan campuran antara makanan Jepang dan makanan asing:
  • Makanan Barat yang dicampur bahan makanan yang unik Jepang, seperti sarada udon (salad adalah makanan Barat tapi dicampur udon yang khas Jepang), kari, dan anpan (roti berasal dari Barat berisi ogura yang khas Jepang).
  • Makanan khas Jepang yang berasal dari luar negeri tapi dibuat dengan resep yang sudah diubah sesuai selera lokal, seperti ramen dan gyōza.
  • Makanan yang berdasarkan bahan dan cara memasak sulit diputuskan harus dimasukkan ke dalam kategori makanan Barat atau makanan Jepang, misalnya pork ginger dan butashōgayaki keduanya menunjuk pada makanan yang sama.
Sebagian besar ahli kuliner berpendapat masakan Jepang mudah sekali dibedakan dari masakan negara tetangga seperti masakan Korea dan masakan Cina. Walaupun demikian, sejumlah makanan Korea juga mendapat pengaruh dari masakan Jepang. Di Korea juga dikenal kimbab (futomakizushi), sup miso, dan takuan (asinan lobak) yang merupakan makanan khas Jepang.

Ciri khas

Hidangan kaiseki untuk sarapan pagi

Bahan makanan

Pada umumnya, bahan-bahan masakan Jepang berupa: beras, hasil pertanian (sayuran dan kacang-kacangan), dan makanan laut. Bumbu berupa dashi yang dibuat dari konbu, ikan dan shiitake, ditambah miso dan shōyu. Berbeda dengan masakan negara-negara lain, makanan Jepang sama sekali tidak menggunakan bumbu berupa rempah-rempah dari biji-bijian (merica) atau penyedap yanng mengandung biji (seperti cabai) yang harus ditumbuk atau dihaluskan. Masakan Jepang juga tidak menggunakan bumbu yang berbau tajam seperti bawang putih. Kacang kedelai merupakan bahan utama makanan olahan. Penyedap biasanya berupa sayur-sayuran beraroma harum yang dipotong-potong halus atau diparut. Masakan Jepang umumnya rendah lemak, tapi mengandung kadar garam yang tinggi.

Bumbu

Masakan Jepang mengenal 5 bumbu utama yang harus dimasukkan secara berturutan sesuai urutan sa-shi-su-se-so yang merupakan singkatan dari:
Sesuai dengan peraturan sa-shi-su-se-so, gula pasir adalah bumbu yang dimasukkan pertama kali, diikuti garam, cuka, kecap asin, dan miso.

Penyajian makanan

Makanan utama di Jepang terdiri dari nasi (kadang-kadang dicampur palawija), sup dan lauk. Lain halnya dari masakan Cina atau masakan Eropa, masakan Jepang tidak mengenal tahapan (course) dalam penyajian. Dalam budaya makan Eropa atau Cina, makanan disajikan secara bertahap, mulai dari hidangan pembuka, sup, hidangan utama, dan diakhiri dengan hidangan penutup. Masakan Jepang dihidangkan semuanya secara sekaligus. Dalam hal penyajian hidangan, dalam masakan Jepang tidak dikenal perbedaan antara tata cara penyajian di rumah dengan tata cara penyajian di restoran. Jamuan makan dan kaiseki merupakan pengecualian karena makanan disajikan secara bertahap.
Dalam hal menikmati makanan, masakan Jepang bisa dengan mudah dibedakan dari masakan Eropa atau masakan Cina. Rasa dicampur sewaktu makanan Jepang berada di dalam mulut. Asinan sayur-sayuran mungkin terasa terlalu asin kalau dimakan begitu saja, namun asinan terasa lebih enak ketika dimakan dengan nasi putih. Dalam masakan Jepang, bahan makanan tidak diolah secara berlebihan. Makanan harus mempunyai rasa asli bahan makanan tersebut. Cara memasak atau penyiapan makanan hanya bertujuan menampilkan rasa asli dari bahan makanan. Makanan juga sama sekali tidak dimasak dengan bumbu yang berbau tajam. Masakan Jepang tidak mengenal teknik memasak yang bisa merusak penampilan bahan dan kesegaran bahan makanan.
Juru masak masakan Jepang dituntut serba bisa dalam berbagai bidang. Mereka dituntut memiliki keahlian dalam pengolahan bahan makanan, pengetahuan tentang alat-alat makan, serta pemilihan suasana yang tepat untuk menikmati makanan. Masakan Jepang sangat berbeda dari masakan Perancis yang sangat maju dalam pembagian keahlian di dapur dan pelayanan terhadap tamu di ruang makan.
Peralatan makan untuk masakan Jepang umumnya dibuat dari keramik, porselen, atau kayu yang dipernis dengan urushi. Di rumah keluarga Jepang, setiap anggota keluarga memiliki mangkuk nasi dan sumpit sendiri, dan tidak saling dipertukarkan dengan milik anggota keluarga yang lain. Sumpit yang dipakai bisa berupa sumpit kayu, sumpit bambu, atau sumpit sekali pakai. Sebelum teknik pembuatan keramik dikenal di Jepang, sebagian besar alat makan dibuat dari kayu yang dipernis. Alat makan dari porselen umumnya diberi hiasan gambar-gambar yang berfungsi sebagai penghias hidangan.
Masakan Jepang memiliki aturan yang sangat longgar menyangkut bentuk alat makan dari keramik. Piring bisa saja berwarna gelap atau berbentuk persegi empat, sehingga sangat mencolok dibandingkan piring makanan Eropa atau Amerika. Alat makan untuk makanan Jepang terlihat sangat berbeda dengan alat makan untuk masakan Cina atau Korea. Masakan Cina menggunakan piring bundar dari porselen dengan hiasan sederhana, sementara masakan Korea memakai porselen putih tanpa hiasan atau alat makan dari logam.

Sejarah

Awal sejarah tertulis

Nihon Shoki adalah literatur klasik yang memuat sejarah tertua tentang masakan Jepang. Di dalamnya dikisahkan tentang nenek moyang klan Takahashi bernama Iwakamutsukari-no-mikoto. Makanan yang dihidangkannya berupa namasu ikan cakalang dan potongan kerang (hamaguri) yang diacar dengan cuka. Hidangan istimewa tersebut dibuatnya untuk Kaisar Keiko yang sedang mengunjungi Provinsi Awa ketika bersedih atas kematian Yamato Takeru. Iwakamutsukari-no-mikoto bertugas sebagai juru masak istana dan kemudian dimuliakan sebagai dewa masakan.

Asal usul masakan

Orang Jepang mulai makan nasi sejak zaman Jomon. Lauknya berupa bahan makanan yang direbus (nimono), dipanggang, atau dikukus. Cara mengolah makanan dengan menggoreng mulai dikenal sejak zaman Asuka, dan berasal dari Semenanjung Korea dan Cina. Teh dan masakan biksu diperkenalkan di Jepang bersamaan dengan masuknya agama Buddha, namun hanya berkembang di kalangan kuil. Makanan biksu adalah masakan vegetarian yang disebut shōjin ryōri. Hewan peliharaan dan binatang buas seperti monyet dilarang untuk dijadikan bahan makanan. Di dalam literatur klasik Engishiki juga diceritakan tentang ikan hasil fermentasi yang disebut narezushi yang dipakai sebagai persembahan di Jepang bagian barat.

Masakan zaman Nara

Pengaruh kuat kebudayaan Cina pada zaman Nara ikut memengaruhi masakan Jepang pada zaman Nara. Makanan dimasak sebagai hidangan upacara dan ketika ada perayaan yang berkaitan dengan musim. Sepanjang tahunnya selalu ada perayaan dan pesta makan. Teknik memasak dari Cina mulai dipakai untuk mengolah bahan makanan lokal. Penyesuaian cara memasak dari Cina dengan keadaan alam di Jepang akhirnya melahirkan masakan yang khas Jepang.

Masakan zaman Heian

Pada zaman Heian, masakan Jepang terus berkembang dengan pengaruh dari daratan Cina. Orang Jepang waktu itu mulai mengenal makanan seperti karaage dan kue-kue asal Dinasti Tang (tōgashi), dan natto. Aliran memasak dan etiket makan berkembang di kalangan bangsawan. Atas perintah kaisar Kōkō, Fujiwara no Yamakage menyunting buku memasak aliran Shijō yang berjudul Shijōryū Hōchōshiki. Sampai saat ini, rumah makan tradisional Jepang masih sering memiliki altar pemujaan untuk Fujiwara no Yamakage dan Iwakamutsukari-no-mikoto.

Masakan zaman Kamakura

Makanan olahan dari tahu yang disebut ganmodoki mulai dikenal bersamaan dengan makin populernya tradisi minum teh dan ajaran Zen. Pada zaman Kamakura, makanan dalam porsi kecil untuk biksu yang menjalani latihan disebut kaiseki. Pendeta Buddha bernama Eisai memperkenalkan teh yang dibawanya dari Cina untuk dinikmati dengan hidangan kaiseki. Masakan ini nantinya berkembang menjadi makanan resepsi yang juga disebut kaiseki, tapi ditulis dengan aksara kanji yang berbeda.

Masakan zaman Muromachi

Memasuki zaman Muromachi, kalangan samurai ikut dalam urusan masak-memasak di istana kaisar. Tata krama sewaktu makan juga semakin berkembang. Aliran etiket Ogasawara yang masih dikenal sekarang bermula dari etiket kalangan samurai dan bangsawan zaman Muromachi.
Chūnagon bernama Yamakage no Masatomo mendirikan aliran memasak Shijōryū. Aliran ini menerbitkan buku memasak berjudul Shijōryū Hōchōsho (Buku Memasak Aliran Shijō). Sementara itu, klan Ashikaga mendirikan aliran memasak Ōkusaryū. Orang mulai menjadi cerewet soal cara memasak dan menghidangkan makanan. Makanan gaya honzen (honzen no seishiki) dan gaya kaiseki merupakan dua aliran utama masakan Jepang zaman Muromachi. Dalam gaya honzen, makanan dihidangkan secara individu di atas meja pendek yang disebut ozen. Porsi yang dihidangkan cukup untuk dimakan satu orang. Dalam gaya kaiseki, makanan dihidangkan dalam porsi kecil seperti makanan yang dihidangkan dalam upacara minum teh.
Namban adalah istilah orang Jepang zaman dulu untuk "luar negeri", khususnya Portugal dan Asia Tenggara. Dari kata namban dikenal istilah nambansen (kapal dari luar negeri). Kedatangan kapal-kapal dari luar negeri dari zaman Muromachi hingga zaman Sengoku membawa serta berbagai jenis masakan yang disebut namban ryōri (masakan luar negeri) dan nambangashi (kue luar negeri). Kue kastela yang menggunakan resep dari Portugal adalah salah satu contoh dari nambangashi.

Masakan zaman Edo

Kebudayaan orang kota berkembang pesat pada zaman Edo. Makanan penduduk kota seperti tempura dan teh gandum (mugicha) banyak dijual di kios-kios pasar kaget. Pada masa itu, di Edo mulai banyak dijumpai rumah makan khusus soba dan nigirizushi. Ōrusuichaya adalah sebutan untuk rumah makan tradisional (ryōtei) yang digunakan samurai sewaktu menjamu tamu dengan pesta makan. Makanan dinikmati secara santai sambil meminum sake, dan tidak mengikuti tata cara makan formal seperti masakan kaiseki atau masakan Honzen. Masakan Ōrusuichaya disebut masakan kaiseki (会席料理 kaiseki ryōri, masakan jamuan makan), dan ditulis dengan aksara kanji yang berbeda dari "kaiseki" untuk upacara minum teh.
Teknik pembuatan kue-kue tradisional Jepang (wagashi) berkembang pesat berkat tersedianya gula yang sudah menjadi barang yang lumrah. Alat makan dari keramik dan porselen mulai banyak digunakan dan diberi hiasan berupa gambar-gambar artistik yang dikerjakan secara serius. Daging ternak mulai dikonsumsi orang Jepang dan daging sapi dimakan sebagai obat. Sejak pertengahan zaman Edo mulai dikenalnya teknik seni ukir sayur, dan makanan mulai dihias dengan hiasan dari lobak (wachigai daikon). Pada waktu itu juga mulai dikenal telur rebus aneh dengan kuning telur berada di luar dan putih telur di dalam (kimigaeshi tamago).

Masakan Kanto

Masakan Jepang zaman modern adalah hasil penyempurnaan masakan zaman Edo. Daimyo dari seluruh penjuru Jepang mengenal kewajiban sankin kōtai. Mereka wajib datang ke Edo untuk menjalankan tugas pemerintahan bersama shogun. Kedatangan daimyo dari seluruh pelosok negeri membawa serta cara memasak dan bahan makanan khas dari daerah masing-masing. Bahan makanan yang dibawa rombongan daimyo dari seluruh pelosok Jepang menambah keanekaragaman masakan Jepang di Edo. Semuanya ditambah dengan makanan laut segar dan enak dari Teluk Edo yang disebut Edomae. Hasil laut dari Samudera Pasifik seperti ikan tongkol sudah dijadikan menu tetap sewaktu membuat sashimi.
Ikan dari familia Sparidae yang dikenal di Jepang sebagai ikan tai merupakan lambang kemakmuran di Jepang. Ikan tai yang dipanggang utuh tanpa dipotong-potong merupakan hidangan istimewa pada kesempatan khusus. Makanan yang dihidangkan pada pesta makan terdiri dari dua jenis: makanan untuk dimakan di tempat pesta, dan makanan yang berfungsi sebagai hiasan. Panggang ikan tai termasuk dalam makanan hiasan yang boleh saja dimakan di tempat pesta. Namun, ikan panggang di pesta sebenarnya lebih merupakan hiasan karena dimaksudkan untuk dibawa pulang oleh para tamu sebagai oleh-oleh. Tradisi membawa pulang makanan pesta sebagai oleh-oleh untuk keluarga di rumah berasal dari zaman Edo dan terus berlanjut hingga sekarang. Selain ikan panggang, tamu biasanya dipersilakan membawa pulang kinton (biji berangan dan ubi jalar yang dihaluskan) dan kamaboko.
Masakan yang lahir dari berbagai keanekaragaman di daerah Kanto disebut masakan Edo atau masakan Kanto. Sebutan masakan Kanto digunakan untuk membedakannya dari masakan Kansai yang sudah dikenal orang lebih dulu. Ciri khas masakan Kanto adalah penggunaan kecap asin (shōyu) sebagai penentu rasa, termasuk untuk makanan berkuah (shirumono) dan nimono. Tradisi membawa pulang makanan pesta merupakan alasan penggunaan kecap asin dalam jumlah banyak dalam masakan Kanto, maksudnya agar rasa tetap enak walaupun sudah dingin. Berbeda dengan masakan Kanto, masakan Kansai justru tidak terlalu asin walaupun mengandalkan garam dapur sebagai penentu rasa.

Masakan Kansai

Masakan Kansai adalah sebutan untuk masakan Osaka dan masakan Kyoto. Berbeda dari budaya Edo yang gemerlap, masakan Kyoto mencerminkan budaya Kyoto yang elegan. Masakan Kyoto dipengaruhi masakan kuil Buddha. Ciri khasnya adalah penggunaan banyak sayur-sayuran, tahu, kembang tahu, namun sedikit makanan laut karena letak geografis Kyoto yang jauh dari laut. Masakan Kyoto melahirkan cara memasak dengan bumbu seminimal mungkin agar rasa asli tahu atau kembang tahu (yang memang sudah "tipis") tidak hilang. Kepandaian mengolah ikan kering seperti bodara (ikan cod kering) dan migakinishin (ikan hering kering) menjadi hidangan yang enak merupakan keistimewaan masakan Kyoto.
Osaka adalah kota tepi laut dengan hasil laut yang melimpah. Oleh karena itu, masakan Osaka mengenal berbagai cara pengolahan hasil laut. Makanan laut diolah agar enak untuk langsung dimakan di tempat dan tidak untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Masakan Osaka tidak mementingkan rasa makanan kalau sudah dingin karena pada prinsipnya "makanan yang habis dimakan". Prinsip masakan Osaka bertolak belakang dengan prinsip masakan Kanto yang memikirkan rasa makanan kalau sudah dingin.

Pengaruh masakan Barat

Pada awal zaman Meiji, masakan Eropa mulai dikenal orang Jepang yang melakukan kontak sehari-hari dengan orang asing. Di kalangan rakyat tercipta makanan gaya Barat (yōshoku) yang merupakan adaptasi masakan Eropa. Berbagai aliran memasak mengalami kemunduran, dan aliran Hōchōshiki merupakan satu-satunya aliran yang terus bertahan. Pelarangan makan daging dihapus sesuai kebijakan Pemerintah Meiji tentang Haibutsu Kishaku dan Shinbutsu Bunri sehingga tercipta sukiyaki. Sementara itu, honzen ryōri yang merupakan aliran utama masakan Jepang mulai ditinggalkan orang. Hidangan kaiseki telah menjadi makanan standar di rumah makan tradisional (ryōtei) dan penginapan tradisional (ryokan).
Masakan vegetarian (shōjinryōri) berlanjut sebagai tradisi kuil agama Buddha. Hidangan porsi kecil yang disebut kaiseki ryōri (懐石料理?) bertahan hingga kini sebagai hidangan upacara minum teh. Di bidang pertanian, sawi dan spinacia mulai ditanam secara besar-besaran. Di kota-kota mulai banyak dijumpai rumah yang memiliki meja pendek yang disebut chabudai sebagai pengganti nampan berkaki yang disebut ozen. Keberadaan chabudai yang bisa dipakai sebagai meja makan untuk empat orang mengubah acara makan yang dulunya dilakukan sendiri-sendiri dengan ozen pribadi menjadi acara berkumpul keluarga.
Akibat gempa bumi besar Kanto yang memakan korban jiwa besar-besaran, juru masak pewaris tradisi masakan Edo ikut menjadi berkurang, dan tradisi masakan honzen mulai memudar. Etiket makan mulai longgar, dan orang Jepang semakin menyukai suasana santai sewaktu makan. Setelah Perang Dunia II, kemudahan transportasi dan kemajuan bidang komunikasi menyebabkan tipisnya perbedaan antardaerah soal bahan makanan dan cara memasak untuk makanan yang sama. Walaupun demikian, perbedaan mendasar dalam soal bumbu dan selera masih tersisa.

Bahan dan bumbu

Bahan makanan sejak zaman kuno

Bumbu sejak zaman kuno

Bahan makanan sejak zaman Meiji

Bumbu dan rempah-rempah dari luar negeri

Kategori

Masakan tradisional

  • Honzenryōri (本膳料理)
Masakan yang mulai dikenal pada zaman Edo, dan mendapat pengaruh dari masakan kalangan samurai tapi akhirnya menghilang pada zaman Meiji.
  • Shōjinryōri (精進料理)
Masakan tanpa daging di kuil agama Buddha.
  • Kaisekiryōri (懐石料理, masakan Kaiseki)
Masakan yang dihidangkan dalam tahap-tahap penyajian dalam porsi kecil.
  • Kaisekiryōri (会席料理, masakan jamuan makan)
Makanan jamuan pesta di rumah makan tradisional Jepang (ryōtei) yang dinikmati sambil minum sake. Penyajian dilakukan secara bertahap seperti masakan kaiseki.

Makanan sehari-hari

  • Masakan nasi
    • Nasi
    • Nasi berbumbu cuka
    • Bubur (okayu), bubur dari nasi (zōsui atau ojiya)
    • Ochazuke
    • Takikomigohan (nasi yang ditanak dengan sedikit lauk)
    • Donburi
    • Kakegohan (nasi yang dituangi sesuatu): mugitoro (gandum yang ditanak dan dituangi parutan umbi yamaimo atau nagaimo).
    • Mochi dan dango
  • Sashimi
    • Tessa (sashimi ikan fugu)
    • Tataki (potongan besar ikan yang digarang dengan api besar, matang di bagian luar, mentah di bagian dalam)
    • Tsuke (sashimi yang direndam dengan kecap asin)
  • Tsukemono (sayuran yang diasin): takuan, umeboshi, shibazuke, misozuke (fermentasi dengan miso), kasuzuke (fermentasi dengan ampas sake), nukazuke (fermentasi dengan kulit ari beras), wasabizuke (campuran sayuran dengan pasta wasabi)
  • Mi: udon, soba, sōmen
  • Nerimono: bentuk goreng-gorengan dari daging ikan yang dihaluskan dan ditambah tepung.
  • Aemono: sayur yang direndam saus berbahan cuka atau miso.
  • Ohitasi: sayur rebus yang dibumbui dashi.

Masakan asal luar Jepang

kadomatsu

Kadomatsu


Kadomatsu
Kadomatsu (門松) adalah hiasan tahun baru di Jepang berupa ranting daun pinus dan potongan bambu yang dipasang di muka pintu masuk rumah atau gedung. Kadomatsu dipajang secara berpasangan, kadomatsu laki-laki di sebelah kiri dan kadomatsu perempuan di sebelah kanan.
Orang Jepang zaman dulu percaya Kami tinggal di atas pohon. Di tahun baru, arwah leluhur dipercaya kembali ke rumah yang dulu pernah ditinggalinya dalam bentuk Toshigami (dewa tahun), sehingga kedatangannya disambut dengan kadomatsu yang sekaligus dipakai untuk tempat menginap dewa selama tahun baru.

Asal-usul

Di zaman dulu, orang Tiongkok mempunyai tradisi meletakkan ranting daun pinus di depan pintu masuk untuk dewa yang menjaga pintu. Tradisi ini diperkenalkan ke Jepang pada zaman Heian. Daun pohon pinus selalu berwarna hijau di musim dingin sehingga dipercaya sebagai lambang keberuntungan. Hiasan daun pohon pinus kemudian ditambah ikatan jerami dan guntingan kertas, dan berkembang menjadi bentuk kadomatsu seperti sekarang ini di zaman Muromachi.

Bentuk

Hiasan kadomatsu terdiri dari dua jenis berdasarkan cara memotong bambu: Sogi (ujung bambu dipotong diagonal), dan Zundō (ujung bambu dipotong mendatar).
Di muka ketiga batang bambu diletakkan ranting pinus yang berisi daun muda. Setelah itu, bagian muka kadomatsu dihias dengan tanaman kubis hias (Habotan) berwarna merah dan putih. Hiasan kadomatsu juga sering dilengkapi dengan ranting dan daun beberapa tanaman, seperti aprikot jepang, nanten, kumazasa, dan yuzuriha.
Kadomatsu pertama dengan bambu yang ujungnya dipotong diagonal dibuat oleh Tokugawa Ieyasu. Di malam tahun baru, keluarga Matsudaira yang kalah dalam Pertempuran Mikatagahara (1572) menerima puisi bernada mengejek dari Takeda Shingen. Ieyasu begitu marah dan memenggal bambu hiasan kadomatsu hingga tertinggal potongan diagonal pada bambu. Sejak itu bambu kadomatsu di rumah keluarga Matsudaira selalu dipotong diagonal sebagai lambang ambisi memotong leher Shingen.Kebiasaan ini meluas ke seluruh Jepang setelah menjadi tradisi di daerah Kanto di masa Keshogunan Edo.
Di zaman sekarang, kadomatsu bisa dibeli di toko bunga, toko tanaman, dan toko perkakas rumah tangga, harga kadomatsu sering sudah termasuk pengantaran, pemasangan, dan penjemputan. Kadomatsu yang selesai dipajang biasanya dibuang, sehingga dikritik sebagai sebab perusakan alam dan sumber sampah. Poster bergambar kadomatsu belakangan ini sering digunakan sebagai pengganti kadomatsu.

Persiapan

Upacara Matsu-mukae (松迎え menyambut pinus) untuk mengambil dahan pohon pinus dari gunung diselenggarakan sekitar tanggal 10 Desember. Upacara ini dipercaya untuk menyambut dewa tahun yang tinggal di gunung untuk pulang ke rumah masing-masing.
Di zaman dulu, kadomatsu sudah dipajang sejak bulan 12 tanggal 20. Di zaman sekarang, kadomatsu baru dipasang sesudah hari Hari Natal. Menurut kepercayaan, kadomatsu harus dipasang pada hari baik dan tidak boleh dipasang pada hari sial. Tanggal 29 bila dibaca dalam bahasa Jepang berbunyi nijūku yang berarti kesengsaraan berlipat dua (二重苦), sehingga hiasan kadomatsu tidak boleh dipasang tanggal 29 Desember. Kadomatsu juga tidak dipasang sehari sebelum tahun baru pada tanggal 31 Desember, dewa tahun dipercaya bakal marah karena hiasan tahun baru diperlakukan seperti hiasan upacara pemakaman yang cuma dipajang semalam.Kadomatsu biasanya mulai dipajang sekitar tanggal 27, 28, atau 30 Desember.
Masa matsu no uchi adalah sebutan untuk masa hiasan kadomatsu masih boleh dipasang dan lamanya berbeda-beda menurut daerahnya di Jepang. Di sebagian daerah, masa matsu no uchi berakhir tanggal 7 Januari dan kadomatsu sudah harus dibersihkan tanggal 6 Januari sore hari. Di daerah Kansai, kadomatsu boleh dipasang hingga "tahun baru kecil" tanggal 15 Januari.

taman jepang

Taman Jepang


Kōraku-en, taman bergaya kaiyū di Okayama.
Taman Jepang (日本庭園 Nihon teien) adalah taman yang dibangun dengan gaya tradisional Jepang. Prinsip dasar taman Jepang adalah miniaturisasi dari lanskap atau pemandangan alam empat musim di Jepang. Elemen dasar seperti batu-batu dan kolam dipakai untuk melambangkan lanskap alam berukuran besar.
Selain taman Jepang yang dibuka untuk umum, taman Jepang dibangun di hotel, kuil Buddha, bekas kediaman resmi daimyo, dan rumah besar milik pejabat atau pengusaha. Taman sempit bergaya Jepang di halaman rumah milik rakyat biasa disebut tsuboniwa (taman halaman kecil) atau nakaniwa (halaman dalam). Tiga taman Jepang yang paling terkenal adalah Kenroku-en di Kanazawa, Kōraku-en di Okayama, dan Kairaku-en di Mito, Prefektur Ibaraki.

Model dan gaya

  • Taman shinden-zukuri (shinden-zukuri teien)
Taman gaya shinden-zukuri berasal dari Dinasti Tang, dan diperkenalkan di Jepang pada zaman Heian. Taman dibangun di halaman tengah rumah kediaman bangsawan yang dibangun dengan gaya arsitektur shinden-zukuri. Taman yang mewakili gaya shindenzukuri adalah Shinsen-en dan taman di Daikaku-ji di Kyoto.
  • Taman gaya jōdo (jōdoshiki teien)
Situasi sosial yang tidak stabil pada zaman Heian menyebabkan meluasnya pemikiran Buddhisme Jōdo yang membuat orang Jepang mendambakan hidup di gokuraku. Ciri khas taman ini adalah kolam yang ditanami seroja. Tata letak taman dibuat menyerupai bentuk mandala dalam ajaran Jōdokyō. Taman yang mewakili gaya ini di antaranya taman di Byōdō-in, Jōruri-ji, dan Mōtsū-ji.[2]
  • Taman batu Jepang (karesansui)
Di taman batu Jepang, batu dipakai untuk menggambarkan air terjun, dan pasir berwarna putih dihamparkan untuk menggambarkan air mengalir. Air sama sekali tidak digunakan sebagai elemen taman. Taman batu Jepang hanya dimaksudkan untuk dilihat dari satu sudut pandang. Taman jenis ini berkembang pada zaman Kamakura, zaman Muromachi, hingga zaman Sengoku. Daitoku-ji dan Ryōan-ji di Kyoto adalah dua taman batu yang terkenal.
  • Taman gaya shoin (shoinshiki teien)
Taman gaya ini berkembang pada zaman Azuchi-Momoyama, dan merupakan gaya taman Jepang yang paling umum. Taman dibangun menghadap atau mengelilingi shoin (bangunan atau ruangan besar tempat menerima tamu). Ciri khas berupa batu-batu ukuran besar untuk menggambarkan pemandangan gunung di pedalaman.
  • Taman teh (chaniwa atau roji)
Taman teh adalah sebutan untuk taman kecil yang dilengkapi jalan-jalan setapak yang dibangun di sekeliling rumah teh. Taman gaya ini berasal dari zaman Azuchi-Momoyama. Batu pijakan (tobiishi) adalah elemen penting yang disusun di jalan setapak yang mengelilingi rumah teh. Susunan batu pijakan dimaksudkan untuk mengatur kecepatan langkah orang yang menuju ke rumah teh. Penempatan tanaman dan batu ditentukan oleh masing-masing aliran upacara minum teh. Taman model ini dilengkapi dengan wadah batu berisi air (tsukubai) dan lentera batu.
  • Taman gaya kaiyū (kaiyūshiki teien atau shisen kaiyū)
Desain taman gaya kaiyū merupakan perpaduan dari taman gaya shoin dan taman teh. Taman gaya ini berkembang pada zaman Edo. Ciri khas taman adalah ukuran taman yang besar dan dilengkapi kolam dan batu-batu. Di dalam taman dibangun taman-taman teh berukuran kecil yang tersebar di beberapa tempat dan dibangun jembatan-jembatan untuk menghubungkannya. Taman yang mewakili gaya ini adalah taman Vila Kekaisaran Katsura di Kyoto, Kōraku-en di Okayama, Kairaku-en di Mito, Prefektur Ibaraki, Kenroku-en di Kanazawa, Prefektur Ishikawa, dan Suizen-ji Jōju-en di Prefektur Kumamoto.[2] Kobori Enshū adalah arsitek lanskap asal zaman Edo yang dikenal dengan desain taman gaya kaiyū.
  • Taman daimyo (daimyō niwa)
Taman daimyo adalah sebutan untuk taman-taman luas yang dibangun daimyo di daerah-daerah pada zaman Edo, misalnya Taman Koishikawa Kōrakuen dan Rikugi-en di Tokyo. Lahan datar di kota sekeliling istana dibuat sebagai miniatur pemandangan terkenal di berbagai tempat di Cina dan Jepang. Di dalam taman jenis ini hampir selalu dibangun kolam. Keindahan taman dinikmati orang sambil berjalan di jalan-jalan setapak yang dibangun di dalam taman.

Prinsip dasar

Dalam taman Jepang tidak dikenal garis-garis lurus atau simetris. Taman Jepang sengaja dirancang asimetris agar tidak ada satu pun elemen yang menjadi dominan. Bila ada titik fokus, maka titik fokus digeser agar tidak tepat berada di tengah.
Secara garis besar, taman Jepang mengenal dua ekstremitas: sakral dan profan. Di halaman bangunan sakral seperti kuil Shinto, kuil Buddha, dan istana kaisar hanya disebar pasir dan kerikil. Salah satu contohnya adalah halaman Kuil Ise. Sebaliknya, taman yang dilengkapi kolam besar dan ditanami pepohonan, perdu, serta tanaman bunga dibangun di halaman bangunan yang dimaksudkan sebagai tempat memuaskan estetika keduniawian, misalnya rumah peristirahatan dan kediaman resmi. Taman seperti ini diperindah dengan dekorasi seperti batu-batuan, lentera batu, dan gazebo. Berada di tengah-tengahnya antara sakral dan profan adalah taman yang menggabungkan nilai-nilai sakral dan estetika profan, misalnya Vila Kekaisaran Katsura di Kyoto.
Taman Jepang berukuran besar dilengkapi dengan bangunan kecil seperti rumah teh, gazebo, dan bangunan pemujaan (kuil). Di antara gedung dan taman kadang-kadang dibangun ruang transisi berupa beranda sebagai tempat orang duduk-duduk. Dari beranda, pengunjung dapat menikmati keindahan taman dari kejauhan.
Tidak semua taman Jepang dirancang untuk dimasuki atau diinjak orang. Sejumlah taman dimaksudkan untuk dipandang dari kejauhan seperti dari dalam gedung atau beranda. Di taman yang dibangun untuk dipandang dari jauh, orang dapat melihat secara sekaligus semua elemen yang ada di dalam taman.
Taman Jepang mengenal permainan perspektif sebagai salah satu teknik untuk membuat taman terlihat lebih besar dari luas sebenarnya. Teknik pertama dari beberapa teknik yang biasa digunakan adalah penciptaan ilusi jarak. Taman akan terlihat lebih luas bila di latar depan diletakkan batu-batuan dan pepohonan yang lebih besar daripada batu-batuan dan pepohonan di latar belakang. Dalam teknik kedua berupa "tersembunyi dari penglihatan" (miegakure), tidak semua pemandangan di dalam taman dapat dilihat sekaligus. Tanaman, pagar, dan bangunan digunakan untuk menghalangi pandangan isi taman seperti air terjun, lentera batu, dan gazebo. Orang harus berjalan masuk sebelum dapat melihat isi taman. Dalam teknik ketiga yang disebut lanskap pinjaman (shakkei), pemandangan taman meminjam pemandangan alam di latar belakang seperti pegunungan, sungai, atau hutan yang berada di kejauhan. Bangunan seperti istana di luar taman juga dapat dijadikan bagian integral dari taman.

Tema

Walaupun elemen-elemen dasar dan prinsip yang mendasari desain taman dapat berbeda-beda, tema-tema tertentu dapat dijumpai di berbagai jenis taman, misalnya pulau kecil (disebut Hōraijima atau Pulau Hōrai) yang dibangun di tengah-tengah kolam. Di atas pulau kecil tersebut kadang-kadang diletakkan diletakkan sebuah batu besar yang melambangkan Sumeru dalam kosmologi Buddha atau Gunung Hōrai dalam Taoisme. Sebagai lambang utopia atau "tanah kebahagiaan", pulau kecil di taman tidak untuk dimasuki orang. Antara pulau dan bagian taman yang lain sengaja tidak dibangun jembatan.
Tema-tema lain yang umum adalah kombinasi dari elemen-elemen dasar seperti batu-batu, pulau kecil, dan pepohonan untuk melambangkan kura-kura dan burung jenjang yang keduanya merupakan lambang umur panjang di Jepang. Pulau kecil di tengah kolam dibangun seperti bentuk kura-kura atau diletakkan batu yang melambangkan kura-kura di tepian. Tema lain yang populer adalah Gunung Fuji atau miniatur lanskap-lanskap terkenal di Jepang.

Elemen dasar

Air

Elemen dasar dalam taman Jepang adalah air, batu, dan tanaman. Selain sebagai sumber kehidupan, air digunakan untuk menyucikan benda dari dunia profan sebelum memasuki kawasan sakral. Air dialirkan dari sungai untuk membuat kolam dan air terjun.

Tanaman

Bertolak belakang dari batu yang melambangkan keabadian, pohon, perdu, bambu, rumpun bambu, lumut, dan rumput adalah benda hidup yang tumbuh seiring dengan musim sebelum menjadi tua dan mati. Bertolak belakang dengan taman gaya Eropa yang berfokus pada warna-warni semak dan bunga, taman di kuil Zen hanya berupa hamparan pasir. Taman rumah teh hanya menggunakan tanaman berdaun hijau dan pohon maple yang daunnya menjadi merah di musim gugur.
Perbedaan antara lereng gunung, padang rumput, dan lembah dinyatakan dalam pemakaian berbagai macam spesies pohon dan perdu yang dipotong dan dipangkas hingga menyerupai berbagai bentuk. Pohon dan perdu juga dipakai sebagai penghubung antardua lokasi pemandangan di dalam taman. Bukit-bukit buatan dibangun dari gundukan tanah.

Batu

Batu-batu disusun untuk menyerupai bentuk-bentuk alam seperti pegunungan, air terjun, dan pemandangan laut, dan dipilih berdasarkan bentuk, ukuran, warna, dan tekstur. Batu adalah elemen terpenting dalam taman karena dapat dipakai untuk melambangkan pegunungan, garis pantai, dan air terjun. Di taman yang memiliki pulau kura-kura dan pulau burung jenjang di tengah kolam, batu-batu diletakkan untuk memberi kesan adanya kepala dan ekor.
Batu-batu berukuran sedang digunakan sebagai batu pijakan (tobiishi, arti harfiah batu loncatan) yang dipasang bersela-sela di jalan setapak. Batu-batu yang menutup jalan setapak disebut batu ubin (shikiishi). Ketika berjalan di atasnya saat hari hujan, pakaian dan alas kaki akan terhindar dari percikan air, tanah, dan lumpur.
Di taman batu Jepang, hamparan pasir dan kerikil diratakan dengan penggaruk menjadi pola-pola yang melambangkan benda yang mengalir seperti awan dan arus air. Butiran pasir dan kerikil yang dipakai tidak berukuran terlalu halus karena mudah diterbangkan angin atau dihanyutkan oleh air hujan. Sebaliknya, butiran pasir dan kerikil yang berukuran terlalu besar akan sulit ditata dengan penggaruk. Pemilihan pasir dan kerikil juga mempertimbangkan warna. Pasir berwarna putih memberi kesan murni dan cemerlang di bawah sinar matahari, sedangkan pasir berwarna gelap mengesankan keheningan.
Batu untuk taman berasal dari pegunungan, pinggir laut, atau pinggir sungai, dan digolongkan menjadi tiga jenis: batuan sedimen, batuan beku, dan batuan malihan. Batuan sedimen biasanya memiliki permukaan yang halus dan bulat karena terkikis air. Batuan seperti ini dipasang di pinggir kolam dan sebagai batu pijakan di jalan setapak. Batuan beku berasal dari gunung berapi dan biasanya memiliki bentuk dan tekstur yang kasar. Batu seperti ini dipakai sebagai batu pijakan atau sebagai elemen yang menonjol, misalnya diletakkan untuk melambangkan puncak gunung. Batuan malihan adalah batu keras yang biasanya dipasang di sekeliling air terjun atau aliran air. Batu potong dari batuan sedimen juga populer untuk membangun jembatan, wadah batu berisi air, dan lentera batu.

Pagar

Pagar bambu di Vila Kekaisaran Katsura.
Di taman rumah teh dan taman Jepang model kolam di tengah (shisen kaiyū), pagar dan bangunan gerbang merupakan elemen penting dalam lanskap. Pagar secara garis besar terdiri dari pagar hidup (ikigaki) dari tanaman perdu yang dipangkas dan pagar buatan dari kayu atau bambu.
Pagar hidup berfungsi sebagai pembatas, penghalang pandangan, pelindung dari angin, api, dan debu, serta penghambat suara. Pagar bambu tembus cahaya (sukashigaki) disusun dari batang-batang bambu yang lebar-lebar jaraknya hingga pemandangan di balik pagar masih terlihat. Sebaliknya, pagar pembatas (shaheigaki) dibangun dari susunan bambu yang rapat dan membatasi pemandangan di baliknya.
Di dalam taman tidak digunakan dinding dari tanah yang dikeraskan, kayu, atau batu. Dinding hanya dipakai sebagai dinding luar pembatas taman.

Lentera

Lentera batu di Kenroku-en.
Lentera (tōrō) berasal dari tradisi Cina untuk menyumbangkan lentera ke kuil Buddha. Sejak zaman Heian, lentera juga disumbangkan ke kuil Shinto untuk penerangan di malam hari dan sebagai hiasan. Lentera batu mulai dijadikan dekorasi standar di taman rumah teh sejak zaman Muromachi. Setelah menjadi mode di taman-taman rumah teh, lentera batu akhirnya dipasang di berbagai taman Jepang karena keindahan dan kegunaannya.

Wadah air

Wadah air (tsukubai) di Tōfuku-ji.
Wadah batu berisi air (tsukubai) adalah perlengkapan standar taman rumah teh. Air dari tsukubai dipakai untuk mencuci tangan tamu sebelum mengikuti upacara minum teh. Tradisi menyediakan wadah batu berisi air di taman rumah teh berasal dari tradisi menyediakan wadah batu berisi air dalam agama Buddha dan Shinto. Sebelum berdoa di kuil, orang berkumur dan membersihkan diri dengan air dari wadah batu yang disebut chōzubachi. Wadah batu yang diletakkan di tanah disebut tsukubai chōzubachi (disingkat tsukubai) karena orang yang mengambil air harus berjongkok (tsukubau).Setelah banyak dipasang di taman-taman, tsukubai akhirnya dijadikan perlengkapan standar di taman-taman rumah teh.
Selain tsukubai terdapat dua bentuk lain wadah air dari batu. Wadah batu yang memungkinkan orang mengambil air sambil berdiri disebut tachi chōzubachi (chōzubachi berdiri). Wadah air yang diletakkan berdekatan dengan beranda bangunan disebut ensaki chōzubachi (chōzubachi beranda).

Jembatan

Jembatan di Taman Ritsurin, Takamatsu.
Dalam desain taman dengan air sebagai subjek utama, jembatan adalah elemen dasar yang menambah harmoni dalam lanskap. Jembatan juga berfungsi sebagai penghubung bagian-bagian taman yang dipisahkan oleh air. Di taman batu Jepang, jembatan batu dibangun untuk memberi kesan bahwa di bawah jembatan ada "air" yang mengalir.
Di taman gaya Jōdo, jembatan melambangkan jembatan Sungai Sanzu yang harus diseberangi arwah orang yang meninggal untuk sampai ke akhirat. Selain itu, jembatan berfungsi sebagai pemisah, seperti halnya fungsi gerbang tengah (chūmon) di taman teh yang memisahkan taman dalam (kawasan sakral) dan taman luar (kawasan profan).

Sejarah

Dalam bahasa Jepang, istilah taman (庭園 teien) terdiri dari dua aksara kanji, niwa () dan sono (). Istilah niwa mengacu kepada lahan berkerikil untuk melakukan kegiatan sehari-hari dan upacara keagamaan, dan sono mengacu kepada lahan pertanian dan sawah berpengairan. Orang zaman Jōmon menamakan lahan tempat mereka melakukan kegiatan, upacara keagamaan, dan mengumpulkan makanan sebagai niwa. Benda-benda yang ada di lahan tersebut, seperti pohon, batu besar, air terjun, dan kerikil di pantai sering kali dipercaya sebagai benda sakral yang dihuni oleh arwah suci. Pasir, kerikil, atau batu dipakai untuk menandai tanah yang dipercaya sebagai tempat sakral untuk berdoa. Batu-batu di laut dan gunung dipercaya dihuni atau digunakan kami ketika turun dari langit (iwakura). Susunan batu digunakan untuk menandai tempat suci (altar) yang disebut iwasaka.
Naskah tertua yang menyebutkan tentang niwa adalah Manyōshū yang mengaitkan niwa dengan laut luas dan tempat orang memancing. Setelah orang Jepang mengenal cara bertani, niwa berarti halaman di depan rumah untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Setelah teknik pertanian dikenal orang zaman Yayoi, kata sono dipakai untuk menyebut lahan beririgasi yang ditanami padi.
Elemen dasar, prinsip, dan tema-tema untuk taman sudah dikenal orang Jepang sejak zaman Heian. Buku-buku klasik mengenai pertamanan hingga kini masih dijadikan pedoman sewaktu membangun taman Jepang. Buku pertamanan tertua di Jepang adalah Sakuteiki (作庭記, Catatan Membuat Taman) yang ditulis pada pertengahan zaman Heian. Pengarangnya diperkirakan bernama Tachibana no Toshitsuna. Dalam Sakuteiki, prinsip-prinsip pertamanan dari Cina disesuaikan dengan estetika dan kondisi alam di Jepang. Konsep-konsep dalam Sakuteiki antara lain diterapkan di taman lumut Saihō-ji di Kyoto. Tidak seperti halnya buku pertamanan dari zaman sesudahnya, Sakuteiki hanya berisi teks dan tidak dilengkapi ilustrasi. Di antara buku pedoman pertamanan dari zaman yang lebih modern terdapat buku yang diperkirakan ditulis tahun 1466, Sanzui Narabi ni Nogata no Zu (山水并野形図, Ilustrasi untuk Merancang Lanskap Gunung dan Air) dan Tsukiyama Teizōden (築山庭造伝, Catatan Pembangunan Taman Bukit Buatan) terbitan tahun 1735. Tsukiyama Teizōden disusun dari buku pertamanan yang lebih awal, termasuk Tsukiyama Sansuiden (築山山水伝, Catatan Bukit Buatan, Gunung dan Air) dan Sanzui Narabi ni Nogata no Zu.
Sepanjang zaman Nara, pengaruh budaya Cina diterima Jepang dari Dinasti Tang, termasuk di bidang arsitektur dan pertamanan. Dari ajaran Taoisme, orang Jepang mengenal legenda orang bijak bernama Sennin (Xian). Sennin konon hidup abadi dan tinggal di seberang lautan di Gunung Hōrai (Gunung Penglai). Sejak zaman Kamakura, di berbagai tempat di Jepang dibangun taman dengan pulau kecil di tengah-tengah kolam. Pulau-pulau kecil tersebut dinamakan pulau burung jenjang (tsurujima) dan pulau kura-kura (kamejima). Pulau kecil di tengah kolam merupakan lambang pulau tempat tinggal Sennin, sekaligus bentuk harapan umur panjang dan hidup abadi. Di atas pulau kecil tersebut ditanam pohon tusam yang melambangkan umur panjang karena daunnya selalu hijau sepanjang tahun.
Pada zaman Muromachi, biksu Zen membangun taman dari batu, pasir, dan kerikil (karesansui) yang mencerminkan konsep Zen mengenai disiplin, mawas diri, dan pencerahan. Taman batu Zen dimaksudkan untuk meditasi, dan biasanya dibangun di sebelah selatan kuil. Hamparan pasir dan kerikil diatur dengan penggaruk bambu untuk membuat berbagai macam pola air seperti ombak, pusaran air, dan riak air.
Taman dan gedung mewah yang terlihat agung dan mencolok merupakan ciri khas arsitektur zaman Azuchi-Momoyama. Sebagai reaksi dari kemewahan tersebut tercipta kesederhanaan dalam seni minum teh dan taman rumah teh (roji).